Ramadhan yang "Menyusahkan"

Oleh: Dr. Junaidi, SHI., M. Hum (Ketua Prodi Ekonomi Syariah FIAI-Unisi)


Ketika Ramadan (ramadhan) tiba hampir di semua lini aktifitas muncul. Mulai dari aktifitas keluarga dalam rumah hingga kegiatan di luar rumah. Perubahan kegiatan di dalam rumah ditandai dengan perubahan waktu makan dan minum terutama pada aktivitas berbuka dan bersahur. 

Selain aktivitas di atas secara eksternal yang berkaitan dengan ibadah diluangkan waktu pula untuk melakukan qiyamul lail berupa shalat isya, tarawih dan witir secara berjamaah di rumah ibadah terdekat. Kemudian terdapat pula kegiatan tiba-tiba seperti pembuatan lapak untuk melakukan aktivitas perdagangan.

Biasanya dilakukan di pinggiran jalan dalam rangka memudahkan para konsumen membeli barang dagangan tersebut. Barang dagangan ini bisa saja berupa kue atau lauk pauk yang dimanfaatkan untuk berbuka dan sahur.

 Bahkan aktivitas dagang itu dilakukan hingga malam hari demi memperoleh keuntungan angka-angka untuk memenuhi kebutuhan dalam bulan Ramadan. Dengan aktivitas seperti ini tentu saja kegiatan ibadah menjadi hal yang bisa saja terkurangi, khususnya kegiatan ibadah yang dilakukan pada malam hari. 

Bolehkah dikatakan bulan ramadan menyusahkan? Atau ramadan banyak tuntutan? Bahkan ramadan membuat seseorang bekerja keras demi memenuhi kebutuhan harian, yang boleh dikatakan pengeluarannya lebih besar dibandingkan hari-hari di luar ramadan?

Pertanyaan ini bisa dijawab masing-masing kita yang menekuni ramadan itu sendiri. Sebab sesuai dengan sudut pandang, tuntutan ramadan bagi setiap diri menjadi hal yang berbeda. Ada yang menganggap bahwa kesibukan ramadan itu merupakan berkah, ada juga yang berasumsi bahwa kesibukan ramadan disebabkan oleh tuntutan keluarga yang sangat kompleks sesuai dengan strata dan kelasnya. 

Dari pandangan yang berbeda itu seharusnya kita mengacu kepada tujuan hadirnya ramadan itu sendiri. Supaya kita tak salah kaprah dalam memaknainya, sehingga ramadan berfungsi maksimal untuk menata rasa dalam berkehidupan nyata

Ramadan ingin mengantarkan pelakunya kepada rasa takwa, rasa yang dibangun oleh hati untuk melahirkan kepekaan sosial dan ketajaman spiritual yang bermuara kepada ketundukan dan kepatuhan pada Sang Khaliq yang menghadirkan ramadan. Meraih takwa bukan hal mudah, apa lagi membangun kepekaan sosial dan menajamkan mata spiritual diri.

Keduanya disyaratkan dengan melakukan berbagai macam ibadah sunnah seperti tarawih, witir, tilawah al-Quran, sedekah yang harus pula disertai dengan rasa iman dan kalkulasi hitung-hitung amal agar tepat sasaran. Dengan kata lain, urusan ibadah Ramadan saja kita wajib membanyakkan timingnya agar memperoleh rasa takwa itu. Karena itu, kalau kita mengacu pada sejarah Nabi dan para sahabat, kegiatan mempersiapkan ibadah Ramadan itu sudah dilakukan di bulan sya'ban. 

Orang tua kita dulu pun secara finansial sudah mereka siapkan terlebih dahulu sebelum masuk Ramadan. Ketika Ramadan tiba, mereka sudah fokus beribadah saja untuk mengejar derjat takwa. Sementara model kita hari ini, Ramadan dijadikan bulan untuk memperbanyak pundi-pundi penghasilan, sampai-sampai tujuan utama Ramadan terabaikan. Betulkah kehadiran Ramadan menyusahkan? Wallahu al-Mustaân.. UJF

Berita Lainnya

Index